Tanya Jawab Dhamma Pernikahan Buddhis (Bhante Uttamo Mahathera)

Berikut ini kami kutipkan tanya jawab Dhamma dengan Bhante Uttamo Mahathera yang berhubungan dengan pernikahan. Semoga ini memberi gambaran bagi rekan se-Dhamma yang akan melangsungkan pernikahan. Tanya jawab ini dikutip dari buku Setetes Dhamma 4: BUKA MATA dan Forum Tanya Jawab di situs www.samaggi-phala.or.id. Nomor yang tertulis di belakang nama (misalnya 04:18) menunjukkan pertanyaan itu dikutip dari Kumpulan Tanya Jawab Dhamma 04, nomor 18. Keterangan ini kami tambahkan untuk memudahkan Anda mengecek langsung ke sumbernya, begitu pula dengan pencantuman tanggal posting.


NB:
Bhante Uttamo adalah pengelola situs www.samaggi-phala.or.id Anda ingin bertanya tentang Dhamma, silakan kunjungi situs tersebut.


47. Dari: Hendry Filcozwei Jan, Bandung
Bhante, Namo Buddhaya,
Bagaimana dengan pernikahan di Buddhis? Saya yakin monogami. Ini berdasarkan dari VCD ceramah Bhante yang saya dengar. Namun jawaban Bhante belum lengkap. Ada yang bertanya: “Bhante, bolehkah saya menikah lagi?” Jawaban Bhante: “Sekarang saya balik tanya, bolehkan istri Anda menikah lagi?” Soal monogami ini bisa ditemui Tipitaka bagian mana?

Jawaban:
Sang Buddha tidak menyebutkan HARUS monogami, namun Beliau menyatakan bahwa:

Pertapaan sebagai kondisi pengembangan batin sempurna amatlah terpuji. Namun, perkawinan dengan seorang wanita (pria) dan setia kepadanya adalah salah satu bentuk pertapaan juga.

Poligami dikritik Sang Buddha sebagai kegelapan batin dan menambah ketamakan. (Anguttara Nikaya IV, 55)

Dari uraian di atas, jelaslah bahwa Sang Buddha tidak pernah menggunakan istilah ekstrim untuk suatu keputusan. Semuanya harus mempergunakan kebijaksanaan dan jalan tengah.

Jadi, kalau memang orang ingin poligami, cobalah renungkan perasaan yang akan dialami oleh pasangan hidupnya, kalau ia tidak senang, maka jangan lakukan hal itu kepada pasangan hidupnya sendiri.

Semua tergantung pada keputusan pribadi. Sehingga, yang harus melengkapi jawaban ini bukanlah saya, melainkan si pelaku sendiri. Saya hanya mengarahkannya untuk merenungkan terlebih dahulu semua resiko keputusan yang akan diambilnya.


48. Dari: Hendry Filcozwei Jan, Bandung
Bhante, Namo Buddhaya,
Nikah beda agama (satu Buddhis, satu bukan), tetap pada agama masing-masing, apa pandangan Buddhis untuk hal ini?

Jawaban:
Perkawinan dalam agama Buddha pada prinsipnya adalah menyatukan banyak persamaan. Semakin banyak persamaan diantara kedua pasangan, semakin besar pula kemungkinan mereka mendapatkan kebahagiaan.

Untuk mendapatkan kebahagiaan rumah tangga, paling tidak ada empat kesamaan sebagai syaratnya yaitu kesamaan keyakinan atau agama, kesamaan kemoralan atau sila, kesamaan kedermawanan serta kesamaan kebijaksanaan.

Dengan memiliki empat kesamaan ini Pangeran Siddhattha dengan Yasodhara menjadi suami istri sebanyak lebih dari 550 kehidupan.


49. Dari: Hendry Filcozwei Jan, Bandung
Bhante, Namo Buddhaya,
Apakah pemberkahan pernikahan bisa dilaksanakan di vihara seandainya beda agama (satu Buddhis, satu bukan)?

Jawaban:
Masalah ini merupakan keputusan yang berlaku lokal antara satu vihara dengan vihara yang lain. Hal ini perlu ditanyakan kepada pengurus vihara tempat upacara perkawinan berlangsung.

Hanya saja, setau saya, biasanya vihara meminta perkawinan satu agama, sehingga masing-masing calon harus sudah mempunyai bukti sebagai umat Buddha yaitu kartu upasaka dan upasika.


50. Dari: Hendry Filcozwei Jan, Bandung
Bhante, Namo Buddhaya,
Saya belum punya contoh tentang pernikahan beda agama (satu Buddhis, satu bukan), tetapi untuk kasus agama lain ada. Misalnya dari kalangan artis: Jamal Mirdad & Lidya Kandou, Katon Bagaskara & Ira Wibowo, Frans & Amara (group vocal Lingua), dan masih banyak lagi. Umumnya mereka menikah di luar negeri, tapi ada pula yang di Indonesia. Seandainya di Indonesia, berarti ada salah satu seorang dari pasangan tersebut “ikut” pemberkahan/ akad nikah tapi dalam kehidupan selanjutnya (setelah prosesi di tempat ibadah) ia tetap menjalankan agamanya sendiri. Bila ini terjadi pada seorang Buddhis (saya yakin ada, entah peresmian secara agamanya di vihara atau di tempat ibadah lain), apakah secara agama pernikahan ini dianggap sah (atau dianggap berjinah/ melanggar sila ke-3 seumur hidupnya)?

Jawaban:
Pernikahan antar agama, dalam pandangan agama Buddha tetap sah sebagai suami istri, dan bukan merupakan perjinahan, namun kondisi mereka mencapai kebahagiaan kurang kuat. Perkawinan beda agama sering membawa masalah jangka panjang. Kalaupun perkawinan sudah dilewati dengan kesepakatan agama tertentu untuk sarana perkawinan, kemudian mereka hidup dengan agama masing-masing, maka ketika mempunyai anak, bagaimanakah mereka harus mendidik pengetahuan agama anak-anaknya? Mungkinkah mereka membebaskan anaknya beragama lain di luar ayah dan ibunya. Kalau memang pendidikan agama anak-anak bisa diselesaikan dengan kesepakatan, kemudian pasangan semakin tua dan sakit-sakitan, lalu ketika ingin didoakan, harus dengan agama si sakit atau agama yang sehat? Kalau masalah ini selesai dan salah satunya meninggal dunia, doa agama apakah yang harus dipergunakan untuk upacara meninggal, penyempurnaan jenasah, upacara peringatan tiga hari dst? Apakah agama yang hidup ataukah yang meninggal?


Jadi, perkawinan beda agama sebenarnya lebih banyak menimbulkan masalah jangan panjang daripada keakuran.


Dari: Ely, Jakarta (04:18)
Namo Budhaya,
Bhante, pacar saya bukan seorang Buddhis sedangkan saya Buddhis. Saya sering mendengar romo ataupun penceramah di vihara bahwa hendaknya sepasang insan seiman hingga menuju perkawinan.

Bhante, saya hendak bagaimana? Dia begitu baik namun saya takut pada akhirnya saya akan menyesal.

Bhante, maaf bila masalah ini memang sudah pernah dibahas sebelumnya.
Terima kasih.

Jawaban:
Dalam Anguttara Nikaya II. 60 memang diuraikan bahwa salah satu persyaratan agar pasangan hidup dapat menjalani kehidupan bersama dengan harmonis dan serasi apabila paling sedikit mereka memiliki empat kesamaan. Keempat kesamaan itu adalah kesamaan keyakinan, kesamaan kemoralan, kesamaan kedermawanan dan kesamaan kebijaksanaan. Dengan demikian, idealnya seseorang mempunyai pasangan hidup yang sama agamanya.

Oleh karena itu, apabila pacar masih belum mengenal Ajaran Sang Buddha, ada baiknya berusaha mengenalkan Buddha Dhamma kepadanya. Kondisikan agar dia dapat mendengar maupun mempelajari Buddha Dhamma. Usahakan hal ini secara baik-baik dan tidak terkesan memaksakan kehendak.

Namun, apabila calon pasangan hidup tersebut bersikeras untuk tidak mempelajari Buddha Dhamma sama sekali, maka kondisikan agar dia dapat menerima kebenaran yang ada dalam agama lain. Dengan demikian, hendaknya ia tidak memiliki pengertian keliru bahwa hanya agama dia sendirilah yang paling benar, sedangkan agama orang lain adalah sesat. Pandangan keliru seperti ini akan memancing perdebatan seru dan permusuhan sengit di dalam keluarga maupun masyarakat.

Karena itu, hendaknya dapat dimengerti bahwa seseorang memilih agama adalah berdasarkan kecocokan pribadi, bukan karena kebenaran suatu agama. Kebenaran suatu agama sungguh sulit dibuktikan. Misalnya saja, ada kepercayaan yang menyatakan bahwa seseorang yang meninggal dengan agama tertentu akan terlahir di alam surga. Hal ini sulit dibuktikan karena sejak jaman dahulu hingga saat ini belum ada orang yang meninggal dan hidup kembali untuk menceritakan pengalamannya di surga. Kalaupun ada pengalaman yang mirip seperti itu biasanya pengalaman tersebut lebih banyak didasari kepercayaan setempat yang tidak berlaku secara universal. Kalau pengalaman itu tidak berlaku secara universal, maka tentunya pengalaman itu lebih banyak berdasarkan kondisi bawah sadarnya sendiri daripada berdasarkan kenyataan.

Oleh karena itu, kalau pasangan hidup yang beda agama dapat sama-sama memiliki pandangan netral seperti yang telah diuraikan di atas itu, maka ada kemungkinan rumah tangga yang akan dibina dapat berjalan secara harmonis dan membahagiakan. Namun, kalau salah satu fihak tidak dapat menerima kebenaran yang ada di semua agama, maka mungkin tindak lanjut proses berpacaran ini perlu ditinjau kembali.

Kalau memang ia adalah orang baik, walaupun bukan sebagai pasangan hidup, ia dapat menjadi seorang sahabat di kala suka dan duka tanpa harus terikat perkawinan dengannya. Seseorang dapat menjadi teman hidup, tanpa harus menjadi pasangan hidup. Sebaliknya, kadang pasangan hidup yang telah diikat dalam janji perkawinan bukanlah teman hidup yang baik.

Semoga pandangan dan saran ini dapat direnungkan dengan baik sebagai bekal menempuh hidup di masa yang akan datang. Semoga selalu bahagia.
Salam metta,
B. Uttamo


Dari: Ting-ting, Jakarta (Posted: 19 Nov 2005)
Bhante,
1. Pernikahan yang dilakukan tanpa pemberkatan di vihara atau tempat ibadah lain dan juga tidak dicatatkan di Catatan Sipil, jadi hanya secara adat/ tradisi dan hanya dihadiri oleh keluarga saja apakah hal ini termasuk melanggar sila?

2. Bila ada seorang bhikkhu lepas jubah karena tertarik kepada umat lalu kemudian mereka menikah, apakah sang umat melanggar sila?

3. Bila seseorang yang sudah menikah merasa suka kepada orang lain tetapi hanya sebatas suka dan tidak berselingkuh, apakah kondisi ini termasuk melanggar sila atau menyebabkan karma buruk?
Terima kasih Bhante.

Jawaban:
1. Dalam Dhamma, penilaian atas suatu perbuatan hendaknya didasari, minimal, DUA ukuran yaitu ukuran Dhamma dan ukuran hukum negara tempat seseorang bertinggal. Suatu perbuatan idealnya sesuai Dhamma sekaligus tidak melanggar hukum negara setempat.

Ketika dua orang bersatu sebagai suami istri dengan disaksikan oleh keluarga serta mereka telah memenuhi kewajiban sebagai suami istri sesuai uraian Sang Buddha dalam Sigalovada Sutta, maka pasangan ini secara Dhamma dapat disebut sebagai suami istri yang sah.

Namun, ketika mereka tinggal di negara yang mengharuskan adanya pengesahan secara hukum atas perkawinan mereka, maka perkawinan yang telah sesuai Dhamma itupun harus dicatatkan di kantor Catatan Sipil sebelum dinyatakan sah.

Umat Buddha haruslah selalu menjadi warga negara yang baik dengan melaksanakan undang-undang tempat ia tinggal. Umat Buddha hendaknya tidak melakukan perkawinan tanpa pengesahkan negara yang walaupun tidak melanggar sila namun tidak pantas dilakukan oleh seorang umat Buddha yang baik.

Kecuali jika mereka tinggal di negara yang menganggap perkawinan secara tradisi saja telah memenuhi persyaratan tanpa harus dicatat oleh negara, maka pasangan Buddhis tersebut dapat melakukan perkawinan secara tradisi saja. Tidak ada masalah.

2. Seorang bhikkhu adalah orang yang sedang berlatih mengendalikan diri. Selama ia belum mencapai kesucian, maka masih ada kemungkinan baginya untuk lepas jubah. Ada banyak penyebab lepas jubah, salah satunya adalah keinginan menikah.Ketika ia merasa sudah tidak mampu lagi melanjutkan hidupnya sebagai bhikkhu, ia boleh saja melepaskan jubahnya. Ia boleh menikah dan hidup sebagai anggota masyarakat biasa. Lepas jubah bukanlah kamma buruk. Ia tidak melanggar sila apapun juga.

Umat Buddha yang dinikahi oleh mantan bhikkhu itu juga tidak melakukan pelanggaran sila.

3. Pelanggaran sila, khususnya sila ketiga dari Pancasila Buddhis adalah karena terjadi kontak fisik melalui mulut, alat kelamin maupun anus. Selama seseorang hanya tertarik dalam pikiran saja kepada orang yang bukan pasangannya, maka ketertarikan itu bukanlah pelanggaran sila, namun dalam pikiran sudah terdapat bibit ketamakan. Ketamakan ini dapat dikatakan sebagai kamma buruk. Oleh karena itu, walaupun tidak melanggar sila, sebaiknya pikiran semacam ini dikendalikan dan diusahakan untuk tidak muncul kembali di masa mendatang.

Semoga jawaban ini bermanfaat.
Salam metta,
B. Uttamo